Selasa, 06 Oktober 2015

STUDI KASUS PELAKSANAAN HUKUM DALAM KACAMATA SOSIAL



KASUS 1
Lensa Indonesia.com (29 Desember 2014) – Alex Darwanto dan Manasye Rieke, diduga adalah otak dibalik pembunuhan berencana dari korban Budi Hartono Tanadjaja pada tanggal 22 Desember 2014 silam. Kronologis pembunuhan terhadap Budi Hartono Tanadjaja diketahui dari keterangan tersangka sendiri dalam pemeriksaan.
Saat pengusaha keramik ini akan bermain game di kawasan Jl. HR Muhammad, dirinya yang berangkas dari tempat usahanya di kawasan Jl. Dupak, sudah dibuntuti para pelaku. Sesampainya di Jl. Tanjungsari, mobil korban dipepet dan sempat terjadi percekcokan dengan pelaku pembunuhan.warga sekitar yang melihat itu sempat akan membantu, namun dibentak oleh pelaku.
Sekitar pukul 16.00 WIB, Budi Hartono Tanadjaja langsung dibawa ke tempat usaha Alex Herwanto Toko Karya Jaya Abadi Jl. Penghela 1. Di tempat inilah korban yang tangan dan kakinya diikat serta mulutnya dilakban, disiksa dan dipukuli, disundut rokok agar memberikan PIN ATMnya. Setelah mendapatkan PIN ATM korban, sekitar pukul 21.00 WIB, Alex Darwanto menghubungi Fitroni untuk mengambil uang yang ada di ATM korban. Pada pukul 23.00 Fitroni dihubungi lagi dan diperintah membersihkanbarang milik korban. Dari keterangan pelaku pembunuhan lainnya, yakni Rendro Wibowo. Bahwa dirinya bersama Alex, JS, dan WAR mengendarai mobil menuju kea rah Pacet membawa Budi Hartono Tanadjaja. Sebelum tiba di tempat pembuangan pelaku menghabisi nyawa korban dengan membekap kepala korban menggunakan plastic sambil menindih tubuh korban yang sudah tak berdaya. Setelah dipastikan korban sudah tak bernyawa tersangka membuang  jasad korban ke sungai.
Motif dari pembunuhan ini diketahui karena dendam pelaku yang mempunyai hutang dari bisnis yang dijalankannya. Namun saat korban menagiih hutang dengan cara yang kasar, pelaku tidak terima dan menyimpan dendam.


Surabayanews.co.id (6 Oktober 2015) - Dalam sidang lanjutan dalam kasus dugaan pembunuhan berencana atas korban Budi Hartono Tanadjaja yang terjadi akhir tahun 2014 silam mengajukan keringanan hukuman atas tuntutan yang sebelumnya telah dibacakan oleh jaksa penuntut umum. Pada persidangan sebelumnya para terdakwa dituntut berbeda oleh jaksa Hasanudin.
Terdakwa Alex dituntut paling berat yakni hukuman pidana penjara seumur hidup sedangkan Manasye Rieneke istri terdakwa Alex dituntut 18 tahun penjara, sementara terdakwa Tarsono, Fitroni dan Rendro dituntut 15 tahun penjara. Kelima terdakwa dianggap terbukti bersalah melanggar pasal 340 KUHP Juncto pasal 55 KUHP tentang dugaan pembunuhan berencana terhadap korban.

ANALISIS KASUS 1
Jenis Pidana
Nama & Jml Korban
Jumlah Kerugian
Perlakuan Aparat
Fasilitas Yang Diterima
Materil
Imateril
Pembunuhan
Budi Hartanto Tanadjaja
Tidak ada kerugian materil yang dibebankan terhadap tersangka.
Alex : Penjara seumur hidup
Manasye : penjara 18 tahun
Tarsono, Fitroni, Rendro : Penjara 15 tahun

Aparat bertindak adil dan tegas memberikan hukuman dan pengadilan terhadap tersangka pembunuhan.
Tersangka diberikan hak mengajukan keringanan hukuman.
  

KASUS 2
Merdeka.com (3 Februari 2015) – Diburu karena ditengarai menjadi otak penembakan aktivis anti korupsi di Bangkalan, Madura, Jawa timur, Marthur Husairi pada 20 Januari lalu, Ketua Komisi A DPRD Bangkalan berinisial AA justru diciduk tengah melakukan perbuatan mesum dengan anak dibawah umut berinisial LT (16 th) di salah satu kamar hotel di Surabaya. Menurut Kabid Humas Polda JawaTimur, Kombes PolAwi Setiyono, pengungkapan kasus ini bermula dari penelusuran Tim Jatanras dari Kasubdit III Jatanras Ditreskrimum Polda Jawa Timur dan Polres Bangkalan terkait kasus penembakan Ketua LSM Cidei’s, Mathur Husairi pada 20 Januari lalu.
Dalam penggrebekan itu, pihak Jatanras Polda Jawa Timur mengamankan dua orang yang berada di dua kamar. Satu ditempati oleh R, yang merupakan saksi penembakan Mathur, kemudia satu kamar ditempati oleh tersangka AA. Di kamar AA polisi mendapati AA sedang bersama seorang anak di bawah umut LT (16 th) sedang melakukan perbuatan mesum. AA sebelumnya telah ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan dan tengah menjalani pemeriksaan. Tersangka AA juga mendapat jerat dengan kasus pemalsuan dokumen Negara, karena di tangan AA polisi menemukan dua KTP yang berbeda dengan foto yang sama, yaitu atas nama AA dan satunya lagi atas nama Kasmo.
Untuk kasus pencabulan anak di bawah umur, tersangka juga dijerat dengan Pasal 81 dan 82 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014, yang diubah dalam Undang-undang Nomor 22 tahun 2003 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman penjara minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun.
Lensa Indonesia.com (27 September 2015) – kasus pencabulan anak di bawah umur yang menyeret Kasmo alias Aldi Alfarisi/AA (42), Ketua Komisi A DPRD Kabupaten Bangkalan, Madura, masih banyak kejanggalan. Sebab meski melakukan dugaan pencabulan terhadap LT yang diketahui adalah anak angkatnya, politisi sekalipun belum pernah merasakan pengapnya penjara. Bahkan diduga kuat sejak ditangani Polda Jatim, sudah ada ‘perdamaian’ sehingga proses hukum kasus ini seperti disamarkan.
Meski penangkapan dari tersangka AA alias Kasmo dilakukan pada Februari lalu, berkas pencabulan Kasmo alias AA baru dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Surabay pada akhir Agustus lalu. Itu berarti proses pemberkasan tanpa disertai penahanan tersangka berlangsung selama 6 bulan. Padahal lazimnya maksimal hanya dua bulan saja.
Bahkan sidang yang sejatinya digelar Rabu (23/9/2015) lalu diduga kuat kucing-kucingan sehingga batal digelar lantaran banyaknya wartawan yang menanti sidang kasus pencabulan Ketua Komisi A DPRD Bangkalan terhadap anak angkatnya tersebut.

ANALISIS KASUS
Jenis Pidana
Nama & Jml Korban
Jumlah Kerugian
Perlakuan Aparat
Fasilitas Yang Diterima
Materil
Imateril
Penembakan
Mathur Husairi
Tidak ada kerugian materil yang dibebankan terhadap tersangka.
.
Belum diketahui

Aparat hukum bertindak kurang responsive dan terkesan berbelit-belit dalam menyelesaikan permasalahan ini. Diduga ada ‘perdamaian’ dalam proses kasus ini
Tersangka sampai sekarang belum dikenai hukuman sama sekali.
Kekerasan seksual
LT usia 16 tahun
Dijerat dengan Pasal 81 dan 82 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014, yang diubah dalam Undang-undang Nomor 22 tahun 2003 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman penjara minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun.





ANALISIS SOSIOLOGIS
            Dari penjabaran kasus di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa perlakuan hukum terhadap seorang tersangka atau terdakwa dalam setiap kasus dan setiap lapisan masyarakat berbeda, terutama dikarenakan lapisan masyarakat. Pada kasus pertama, tersangka berada dalam lapisan masyarakat menengah kebawah sebagai seorang pengusaha dan pada kasus kedua tersangka berada pada lapisan masyarakat atas sebagai seorang pejabat Negara.
            Pendapat tentang “Hukum tajam ke bawah tumpul ke atas” tercermin dalam kedua kasus di atas. Ketika hukum menangani suatu kasus di mana tersangka berada pada lapisan social menengah ke bawah, hukum sangat cepat merespon dalam memberikan penyelesaian, sedangkan pada kasus di mana tersangka berada pada lapisan social menengah ke atas hukum sangat lamban  dalam memberikan penyelesaian. Bahkan hukum tersebut dapat dikalahkan dengan uang dan jabatan.


TUGAS DIBUAT OLEH
Zulfa Zumrotun Nisa
Hukukm Ekonomi Syariah 3-C
NIM 1711143093
 

Selasa, 15 September 2015

ARTIKEL - SOSIOLOGI HUKUM

SOLIDARITAS DAN HUKUM

Teori Solidaritas adalah sebuah rumusan teori yang dikemukakan oleh Emile Durkheim sebagai seorang pemerhati masyarakat. Durkhem merumuskan bahwa hukum sebagai suatu kaidah yang bersanksi dimana berat dan ringannya senantiasa bergantung dari sifat pelanggaran, anggapan-anggapan serta keyakinan masyarakat tentang baik buruknya suatu tindakan dan peranan sanksi-sanksi tersebut dalam masyarakat.[1]

Menurut Emile Durkhem terkait dengan hukum, ada dua jenis Solidaritas, yakni solidaritas organis dan solidaritas mekanis. Masing-masing memiliki ciri-ciri yang berbeda.
A.    Tipe solidaritas Mekanis
Memiliki ciri:
·         Pembagian kerja rendah/homogen
·         Kesadaran kolektif kuat
·         Hukum represif sangat dominan
·         Individualitas rendah
·         Konsensus terhadap pola normative
·         Komunitas terlibat dalam menghukum seorang yang melakukan penyimpangan
·         Saling ketergantungan tinggi
·         Bersifat primitif dan pedesaan
B.     Tipe solidaritas Organis
Memiliki ciri:
·         Pembagian kerja tinggi/heterogen
·         Kesadaran kolektif rendah
·         Hukum restif dominan
·         Individualis tinggi
·         Konsensus terhadap nilai abstrak
·         Badan-badan kontrol sosial yang melakukan penghukuman
·         Saling ketergantungan rendah
·         Bersifat industri dan perkotaan[2]



STUDY KASUS
Masyarakat di desa Panggungsari kecamatan Durenan kabupaten Trenggalek tergolong masyarakat homogen dengan prosentase pekerjaan 75% seorang petani 25% lain-lain. Penulis telah melakukan observasi dari 20 kepala keluarga di sekitar dengan hasil 15 kepala keluarga dengan pekerjaan pokok sebagai petani, 2 kepala keluarga sebagai PNS, 2 kepala keluarga membuka toko kecil, dan 1 kepala keluarga bekerja serabutan. Di lingkungan desa ini terlihat jelas memiliki tingkat solidaritas yang masih sangat kuat.
Sebagai contoh adalah ketika adanya suatu acara pernikahan di desa tersebut. Warga desa terutama dari kalangan ibu pasti akan datang dan membantu di tempat terjadinya acara. Bahkan tanpa perlu diundang, mereka pasti akan membantu dalam persiapan pelaksanaan acara tersebut. Hal itu sudah menjadi suatu tradisi turun-temurun untuk saling membantu satu sama lain walau tanpa diminta. Kesadaran untuk saling membantu tersebut sudah tertanam kuat dalam diri setiap masyarakat untuk saling membantu dan bergotong royong dalam setiap kesulitan. Oleh sebab itu, menyebabkan tingkat ketergantungan tingkat solidaritas antar warga tinggi.
Apabila ada salah seorang warga yang mengabaikan setiap kegiatan yang melibatkan banyak orang seperti pada kasus ketika ada acara pernikahan, pasti nantinya ia akan dipertanyakan mengenai alasan ketidakhadiran itu. Kebiasaan egois seperti itu sangat buruk untuk kelangsungan hidupnya tinggal di desa tersebut. Karena nantinya ia bisa mendapat gunjingan ‘miring’ sebagai warga yang tak mau bersosialisasi dengan warga yang lain.
Di lingkungan pedesaan seperti di desa Panggungsari, melakukan sosialisasi dengan warga sekitar seakan telah menjadi suatu syarat untuk tinggal di lingkungan tersebut. Hal ini sesuai dengan salah satu teori Emile Durkhem mengenai solidaritas mekanis, dimana dalam lingkup pedesaan yang tergolong masyarakat homogen memiliki hukum represif lebih dominan, apabila ada yang melanggar maka akan dikenai suatu sanksi entah itu kasap mata atau tidak kasap mata, seperti yang ada di contoh merupakan sanksi berupa ‘gunjingan’. Selain itu kesadaran kolektif masyarakat masih sangat kuat, memiliki sifat saling letergantungan yang tinggi antar warga, dan tingkat individualitas yang rendah.




[1] Zulfatun Ni’mah, “Sosiologi Hukum, Sebagai Pengantar”, Teras, Depok 2012, hlm:35
[2] Ibid, hlm:38-39