Rabu, 23 Desember 2015

HUKUM YANG SUBSTANTIF = KEADILAN BAGI MASYARAKAT

Hukum Modern, Ciptakanlah Keadilan Bagi Waria
Oleh: Zulfa Zumrotun Nisa’ (1711143093)

Negara modern adalah suatu istilah yang menunjuk pada instirusi yang memiliki arsitektur rasional melalui pembentukan struktur penataan yang rasional. Negara modern ini muncul pada abad ke 18 dengan menerapkan hukum modern yang sesuai dengan sebutan Negara modern. Hukum modern memiliki karakteristik yang sangat berbeda dengan hukum tradisional yang digantikannya. Menurut Marc Galanter ada beberapa ciri dari aturan hukum modern antara lain:
  1.  Hukum modern terdiri atas peraturan-peraturan yang seragam dan tidak bervariasi dalam penerapannya. Aturan ini bersifat territorial daripada “individual”
  2.  Hukum modern bersifat transaksional. Hak-hak dan kewajiban lebih merupakan hasil transaksi antara para pihak, bukan sekelompok pihak yang tidak berubah dan memiliki ketergantungan dengan para individu atau pihak luar melalui transaksi tertentu.
  3. Norma-norma hukum modern bersifat universal.
  4. Sistemnya adalah hirarkis.
  5. Sistem diatur secara birokrasi.
  6. Sistem yang rasional.
  7. Sistem dijalankan oleh para profesional.
  8. Sistem menjadi lebih teknis dan kompleks.
  9. Sistem yang dapat diubah.
  10. Hukum berhubungan dengan negara sehingga negara memonpoli penyelesaian seluruh sengketa.
  11.  Kegiatan menemukan hukum dan menerapkannya pada kasus yang konkrit dibedakan secara personal dan teknis pada fungsi pemerintahan.
Dari ke sebelas ciri di atas, kelompok masyarakat yang paling berkepentingan dengan lahirnya hukum modern adalah kaum borjuis. Dalam sistem lama yang feodalis, kaum borjuis tidak mendapat tempat yang cukup karena struktur masyarakat didominasi kelompok ningrat yang dekat dengan kekuasaan raja dan gereja. Marc Galanter menekankan bahwa model hukum modern selalu menekankan pada kesatuan atau unifikasi (unity), keseragaman atau kodifikasi (uniformity) dan universal (universality). Dengan begitu, hukum dibuat umum, abstrak dan formal. Sejak saat itu dikenallah asas equality before law yaitu asas kesamaan di muka hukum.
Perkembangan hukum modern mendatangkan ketidakpuasan bagi sebagian masyarakat. Asas kesamaan di muka hukum digugat karena telah menyebabkan hukum dan penegak hukum tidak mempertimbangkan konteks sosial suatu peristiwa hukum. Akibatnya orang-orang lemah dan terlemahkan cenderung mengalami kekalahan. Sebagai antithesis dari paham modernisme, muncullah paham baru yang menamakan dirinya postmodernisme. Postmodern merupakan penolakan yang radikal terhadap pemikiran modern yang mengandaikan universalitas. Inti dari postmodernisme adalah menolak usaha untuk menyusun cara pandang yang tunggal. Postmodernisme dalam hukum dikenal dengan nama critical legal studies atau aliran hukum kritis dengan berbagai derivasinya seperti feminist legal studies, critical race theories, radical criminology dan lain-lain. Aliran hukum kritis merupakan lanjutan dari ajaran hukum pada awal abad 20 di mana hukum dipandang sebagai instrumen yang dapat membawa masyarakat pada keadaan tertib dan cenderung bercorak pragmatis. Hukum yang dipersepsikan sebagai alat mencapai ketertiban sosial ini pada praktiknya tekah gagal mencapai tujuannya, dikarenakan gagal menemukan metode yang tepat untuk mencapai tujuan itu.
Pola pikir postmodernisme tersebut di atas berpengaruh pada semakin kaburnya bentuk-bentuk tradisional tentang identifikasi tertentu yang semula dipertahankan secara kaku oleh norma hukum. Identifikasi tersebut antara lain konsep tentan ras, jenis kelamin, kelas sosial, perkawinan dan lain-lain. Sebagian ahli hukum menemukan kesadaran pada akhir abad 20 bahwa keadilan sesungguhnya tidak pernah disentuh oleh hukum, sebagian lagi berpendapat bahwa keadilan itu tidak pernah ada. Menurut Munir Fuady aliran hukum kritis secara radikal mendobrak hukum yang sudah ada sebelumnya, menggugat klaim kenetralan dan keobjektifan hukum, hakim dan penegak hukum lainnya. Gugatan klaim kenetralan terutama ditujukan kepada realitas keterpihakan mereka pada golongan atas, kuat, mayoritas atau kaya dalam rangka mempertehankan hegemoninya atau keberpihakan hukum terhadap politik dan ideologi tertentu.
Di Indonesia keberadaan asas kesamaan di muka hukum tercermin pada Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 pasal 27 ayat 1 yang berbunyi “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” dan ayat 2 yang berbunyi “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”. Namun dalam realitasnya masih banyak orang-orang yang tersisihkan dan termarjinalkan dari hukum, seperti contohnya waria. Waria adalah seorang laki-laki namun memiliki kecenderungan sifat, psikis dan mental sebagai perempuan sehingga membuat orang yang bersangkutan ingin merubah bentuk tubuhnya agar mirip perempuan sebisa mungkin. Adanya hal yang dianggap tidak wajar ini, keberadaan waria jarang disukai oleh masyarakat karena dianggap telah menyalahi aturan alam di mana yang ada dan pasti jenis kelamin hanya ada laki-laki dan perempuan.
Pada hari Senin tanggal 22 Desember 2015 lalu, saya (Zulfa Zumrotun) dan teman-teman (Rohmatul Umah, Wike Lusiana, Zulfatun Ulaini, Yolanda Agnes dan M. Stipan) sempat berbincang-bincang sejenak dengan seorang waria yang tinggal di kota Kediri untuk berbagi pengalamannya selama menjadi waria. Nama waria tersebut adalah Nadia Sinar Ayu (nama yang dibuat sendiri oleh narasumber) lahir di Kediri tahun 1996 silam. Nadia lahir di lingkungan keluarga yang kurang mampu. Kecenderungan psikis perempuannya memang sudah ada sejak ia masih kecil, sehingga kebiasaan-kebiasaan yang biasanya dilakukan oleh perempuan sudah dijalaninya sejak masih kecil pula dan itu terus berlangsung hingga sekarang. Fisiknya telah berubah lebih mirip perempuan. Demi tubuh perempuannya itu Nadia rela menghabiskan uang satu juta per bulan.
Perbedaan perilaku dengan fisiknya ini jelas menerima respon yang kurang baik oleh masyarakat. Seperti ketika Nadia masih di bangku sekolah, ia tetap mengenakan seragam laki-laki namun ia juga tetap memiliki kebiasaan untuk berpenampilan seperti perempuan. Sempat Nadia menanyakan kepada gurunya untuk mengenakan rok, namun ditolak. Beberapa kali Nadia mendapatkan kecaman dari guru karena kebiasaannya itu. Ketidaksukaan guru kepadanya membuatnya merasa sangat berat untuk menjalani masa sekolah. Ketika di bangku sekolah menengah atas Nadia pernah mengajukan beasiswa untuk sekolahnya, namun juga ditolak karena dianggap sebagai orang yang tidak pantas untuk mendapatkan beasiswa. Hingga akhirnya Nadia keluar sekolah karena tidak mampu menanggung biaya untuk sekolah. Keluarnya Nadia dari sekolah mendapat respon guru, sebagian ada yang tidak setuju Nadia keluar karena ia berbakat di bidang seni dan sebagian lagi memilih lebih baik Nadia keluar sekolah karena membuat citra sekolah menjadi buruk.
Setelah putus sekolah Nadia mencoba bekerja di sebuah kedai. Kedai tersebut buka selama 24 jam dan gaji yang diterima Nadia Rp. 25.000,00 per hari. Namun pada kenyataannya, pemilik kedai berbuat semaunya dengan memberi gaji hanya Rp. 50.000,00 atau Rp. 100.000,00 per bulannya. Jatah makanpun mengurangi gaji yang seharusnya diterima oleh Nadia. Perlakuan dari pemilik kedai ini jelas sangat tidak berperikemanusiaan. Menahan gaji yang seharusnya diterima oleh Nadia dan selalu memberi potongan gaji terhadap apa yang seharusnya Nadia terima sebagai karyawan. Hingga akhirnya empat bulan kemudian, Nadia berhenti bekerja di kedai tersebut.
Setelah bekerja di kedai tersebut, Nadia mencoba bekerja di tempat lain beberapa kali dan sekarang ia sedang berusaha mendirikan salon sendiri sambil menerima tawaran untuk menyanyi di acara-acara tertentu di kota sebagai penyanyi waria. Hal tersebut lebih mudah dijalani oleh Nadia karena ia tidak memerlukan tanda pengenal untuk melakukan pekerjaan tersebut, selain itu Nadia memiliki bakat lebih di bidang tata rias dan seni. Sejak awal Nadia sudah menyadari keadaannya, sehingga ia tidak berharap lebih untuk menjadi orang besar.
Dalam bidang tarik suara Nadia memiliki kualitas yang bagus, namun statusnya sebagai penyanyi waria sering mendapat respon yang kurang menyenangkan. Beberapa kali Nadia mengalami pembatalan konser secara tiba-tiba karena dari pihak yang mengadakan acara mengetahui bahwa Nadia adalah seorang waria. Perlakuan tersebut seakan Nadia tidak dihargai karena ia adalah seorang waria.
Dari situ dapat diketahui bahwa Nadia sebagai waria mengalami penyisihan atau pengucilan oleh masyarakat sebagai sesama manusia dan warga negara karena ia dianggap berbeda dalam hal yang tidak baik. Nadia sendiri tidak menginginkan menjadi waria. Menjadi waria bukanlah keinginannya, bukan cita-citanya, tapi itulah yang telah diberikan Tuhan kepadanya. Hingga saat ini pandangan masyarakat yang negatif terhadap kaum waria masih menempel sangat lekat. Nadia memang waria, namun sebisa mungkin ia mencari penghasilan dengan cara yang baik. Status waria yang tidak diakui oleh pemerintah jelas memberikan kesulitan bagi kaum waria untuk memperoleh suatu keadilan. Dengan ini diharapkan Indonesia memberikan suatu afirmative action sebagai tindakan untuk menciptakan keadilan-keadilan yang substantif atau keadilan yang senyatanya kepada kaum waria dan kaum lain yang masih tersisihkan oleh hukum. Hukum yang adil bukan hanya berdasarkan Undang-undang namun juga berdasarkan realitas yang ada.
Harapan Nadia sebagai kaum waria adalah ia ingin dapat mengganti namanya secara legal, dapat menikah dengan cara yang legal, membahagiakan kedua orang tuanya, sukses menjalankan salonnya, dan sesegera mungkin ia ingin mengadopsi anak untuk diasuhnya.

DAFTAR PUSTAKA
Ni’mah, Zulfatun, 2012, Sosiologi Hukum. Sebagai Pengantar. Yogyakarta: Teras
UNDANG-UNDANG DASAR 1945

1 komentar:

  1. Artikel yang sangat menambah pengetahuan,, ini sangat menambah wawasan pembaca,, dengan adanya Artikel ini setidaknya kita bisa membuka fikiran untuk tidak membeda- bedakan sesama, bahwa setiap manusia diberi kelebihan dan kekurangan masing- masing oleh Tuhan,, yang sepatutnya di syukuri.
    Dan dari sinilah kita bisa belajar untuk menerima orang lain dan menghargai setiap kelebihan dan kekurangan orang lain,, bukan malah mencela dan merendahkan orang lain karena dianggap berperilaku tidak wajar,,,
    Terimakasih untuk penulis,, πŸ˜ƒπŸ˜‰
    Wassalamualaikum wr wb

    BalasHapus