Minggu, 08 November 2015

ANALISIS UNDANG-UNDANG PILKADA




STUDI KASUS TERHADAP DISAHKANNYA
UNDANG-UNDANG PEMILIHAN KEPALA DAERAH
Oleh: Zulfa Zumrotun Nisa’ (1711143093)
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada atau Pemilukada) dilakukan secara langsung oleh masyarakat setempat yang telah memenuhi syarat sesuai dengan UU No 8 Tahun 2015. Pemilihan Kepala Daerah tersebut sudah mencakup dengan wakil kepala daerah. Kepala daerah dan wakil kepala daerah tersebut meliputi:
-          Gubernur dan wakil gubernur di tingkat provinsi
-          Walikota dan wakil walikota di tingkat kotamadya
-          Bupati dan wakil bupati di tingkat kabupaten
Sebelum munculnya UU No 32 Tahun 2004 pemilihan kepala daerah masih dilaksanakan secara tidak langsung oleh DPRD setempat. Namun karena hal tersebut menuai banyak kontroversi dalam masyarakat di mana pemerintahan sentralistik pada masa orde baru yang melahirkan birokrat yang korup di daerah dan mengakibatkan masyarakat di daerah tidak dapat merasakan pembangunan yang merata dan walaupun kekayaan alam di daerahnya sangat kaya tapi lebih banyak dikorupsi oleh pejabat dan DPRD di daerah mereka akibat pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Terbukti, banyak kasus korupsi yang melibatkan anggota DPRD karena melakukan pemerasan kepada kepala daerah yang mereka pilih atau karena transaksi suap untuk melancarkan kebijakan dan program di daerah karena harus melalui persetujuan oleh DPRD. Oleh karena itu maka dibentuklah UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang mengatur tentang pemilihan Kepala daerah secara langsung oleh rakyat yang mulai dipraktekkan dalam Pemilihan Kepala Daerah di tahun 2005. Tertuang dalam pasal 24 UU No 32 Tahun 2014 yang berbunyi “Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan.”

KASUS I
Di tahun 2014 silam pasca Pilpres DPR-RI kembali mengangkat isu krusial terkait pemilihan kepala daerah secara langsung dengan mengajukan RUU (Rancangan Undang-undang) tentang Pemilihan Kepala Daerah. Dalam RUU Pilkada tersebut mengatur mengenai sistem pemilihan kepalah daerah dimana kepala daerah tidak lagi dipilih secara langsung oleh masyarakat, melainkan akan ditentukan melalui voting kursi DPRD. 
Pengajuan RUU ini jelas mendapat kontroversi dari masyarakat. Telah jelas disebutkan dalam pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 yang mengharuskan gubernur, bupati, dan walikota dipilih secara demokratis. Setelah mengalami banyak pertimbangan, dalam sidang paripurna keputusan yang awalnya pilkada dipilih oleh DPRD yang tertuang dalam UU No 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota tersebut dicabut, dan disahkan undang-undang baru yaitu UU No 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang  di mana pemilihan kepala daerah tetap dipilih oleh masyarakat langsung. Hal ini tertuang dalam Pasal 1 ayat 1 yang berbunyi “Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang selanjutnya disebut Pemilihan adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan kabupaten/kota untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota secara langsung dan demokratis.“

KASUS II
Tiga daerah yang sempat dikabarkan tidak akan mengikuti pilkada serentak desember 2015 mendatang kini bisa bernafas lega karena akhirnya mendapatkan kejelasan dari MK, tiga daerah tersebut adalah Blitar, Tasikmalaya, dan Timor Tengah Utara. Dalam putusan MK disebutkan pemilihan pasangan calon tunggal dapat dilakukan apabila telah melampaui kegiatan sebagaimana dimaksud pada ketentuan pada UU No 8 Tahun 2015 pasal 49 dan pasal 50.
Pasal 49 ayat 8 yang berbunyi “Dalam hal hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (7) menghasilkan pasangan calon yang memenuhi persyaratan kurang dari 2 (dua) pasangan calon, tahapan pelaksanaan Pemilihan ditunda paling lama 10 (sepuluh) hari. “ dan pada ayat 9 yang berbunyi “KPU Provinsi membuka kembali pendaftaran pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur paling lama 3 (tiga) hari setelah penundaan tahapan sebagaimana dimaksud pada ayat (8). “
Pasal 50 ayat 8 “Dalam hal hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (7) menghasilkan pasangan calon yang memenuhi persyaratan kurang dari 2 (dua) pasangan calon, tahapan pelaksanaan pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota pemilihan ditunda paling lama 10 (sepuluh) hari.” Dan ayat 9 yang berbunyi “KPU Kabupaten/Kota membuka kembali pendaftaran pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota paling lama 3 (tiga) hari setelah penundaan tahapan sebagaimana dimaksud pada ayat (8).”
Ketentuan tersebut dianggap sudah sesuai dengan fakta hukum penyelenggaraan pilkada di tiga daerah yang hanya memiliki pasangan calon tunggal. Dalam rapat koordinasi yang telah digelar MK, daerah yang memiliki calon tunggal akan melaksanakan Pilkada dengan mekanisme referendum guna menjamin hak konstitusional rakyat agar tetap dapat memilih dan dipilih. Mekanisme referendum tersebut dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada rakyat untuk menyatakan setuju atau tidak setuju dalam surat suara yang didesain sedemikian rupa sehingga memungkinkan rakyat atau pemilih menentukan pilihan. Apabila pilihan setuju memperoleh suara terbanyak maka pasangan calon ditetapkan sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih. Namun jika tidak setuju memperoleh suara terbanyak, maka pemilihan ditunda sampai pilkada berikutnya.

KASUS III
Dengan munculnya undang-undang no 8 tahun 2015 pada pasal 3 yang berbunyi “Pemilihan dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali secara serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia”, pada Desember 2015 mendatang akan dilaksanakan pilkada serentak di seluruh Indonesia. Dikarenakan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah yang begitu banyak di Indonesia dinilai sangat memboroskan anggaran daerah. Banyaknya biaya yang dipakai memunculkan kemungkinan korupsi dari pihak-pihak yang kurang bertanggung jawab. Selain itu bagi daerah yang kemampuan fiskalnya rendah, kewajiban membiayai pilkada ternyata mengurangi belanja pelayanan publik seperti urusan pendidikan dan kesehatan. Karena itu, penyelenggaraan pilkada serentak dipandang lebih tepat karena lebih hemat dan efisien.
Perlu diketahui bahwa biaya pilkada yang sebelumnya ditanggung oleh APBD sedangkan biaya pilkada serentak menggunakan APBN.   Biaya pilkada untuk kabupaten/kota Rp 25 miliar, untuk pilkada provinsi Rp 100 miliar. Jadi untuk keseluruhan pilkada di Indonesia diperlukan Rp 17 triliun. Kalau dilaksanakan secara serentak diperlukan Rp 10 triliun. Maka diadakannya pemilu serentak menjadi alternatif solusi untuk menciptakan efisiensi biaya.



Teori Paradigma Perubahan Sosial Sebagai Respon Dari Disahkannya Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah
Hukum perubahan sosial dan perubahan hukum merupakan hubungan timbal balik atau interaksi yang terjadi antara perubahan sosial terhadap perubahan hukum, dan perubahan hukum terhadap perubahan sosial yang apabila keduanya berinteraksi satu sama lain akan menimbulkan suatu dampak tertentu. Untuk menganalisis dampak yang ditimbulkannya sekurang-kurangnya terdapat dua cara pandang atau paradigma ilmiah yaitu:
1.      Hukum sebagai pelayan kebutuhan masyarakat.
2.      Hukum dapat menciptakan perubahan dalam masyarakat
Paradigma pertama: hukum sebagai pelayan kebutuhan masyarakat atau bisa disebut paradigma hukum penyesuaian kebutuhan, agar hukum tidak tertinggal dengan laju perubahan yang ada di masyarakat. Maksudnya di sini adalah hukum akan bergerak cepat untuk menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi. Kebutuhan akan peraturan perundang-undangan yang baru nampak jelas dapam paradigma ini. Ciri-ciri dari paradigma hukum sebagai pelayan masyarakat adalah:
a.       Perubahan hukum atau perubahan sosial cenderung diikuti oleh sistem lain karena dalam kondisi saling ketergantungan.
b.      Hukum selalu menyesuaikan diri dengan perubahan sosial.
c.       Hukum sebagai alat mengabdi pada perubahan sosial.
Paradigma kedua: hukum dapat menciptakan perubahan dalam masyarakat atau setidaknya bisa menjadi pemicu perubahan masyarakat. Menurut paradigma ini hukum diciptakan untuk mengantisipasi persoalan hukum yang dimungkinkan muncul atau untuk mengantisipasi munculnya masalah yang sama dari waktu ke waktu. Oleh karena itu paradigma ini juga disebut paradigma antisipasi masyarakat. Ciri-ciri dari paradigma antisipasi masyarakat adalah:
a.       Hukum merupakan alat untuk merekayasa sosial.
b.      Hukum merupakan alat merubah sosial secara langsung.
c.       Hukum berorientasi masa depan.




ANALISIS KASUS
KASUS I
Pada kasus pertama yaitu tentang pemilihan langsung termasuk pada paradigma pertama yaitu hukum sebagai pelayan kebutuhan masyarakat. Alasannya dalam kasus tersebut hukum ditegakkan untuk melindungi hak memilih masyarakat. Di mana yang pada awal tahu  2004 diberlakukan UU No 32 Tahun 2004 yang mengatur pemilihan kepala daerah dipilih langsung oleh masyarakat. Dan di tahun 2014 ketika DPRD mengajukan RUU perihal pemilihan tak langsung dan RUU tersebut sempat diresmikan menjadi UU no 22 Tahun 2014, UU tersebut segera diganti dengan Perpu No 1 Tahun 2014 yang menghapus pemilihan tak langsung. Dan di tahun 2015 ini telah dibuat UU No 8 Tahun 2015 sebagai Undang-undang Pemilihan Kepala Daerah Baru.
KASUS II
Pada kasus kedua tentang calon tunggal dalam pilkada serentak yang akan dilaksanakan Desember 2015 mendatang termasuk pada paradigma pertama yaitu hukum sebagai pelayan masyarakat. Alasannya hukum tersebut menyesuaikan diri dengan kondisi masyarakat, di mana hukum melindungi hak memilih masyarakat. Maka Mahkamah Konstitusi memberikan solusi alternatif yaitu menggunakan mekanisme referendum bagi daerah-daerah yang memiliki calon tunggal. Mekanisme referendum tersebut dilakukan dengan memberikan kesempatan pada masyarakat untuk menyuarakan suara “setuju” dengan calon tunggal tersebut ataukah “tidak setuju”.
KASUS III
Pada kasus ketiga tentang penerapan Pilkada serentak yang akan dilaksanakan Desember 2015 mendatang termasuk pada paradigma kedua hukum sebagai antisipasi masyarakat. Dalam hal ini peraturan tentang Pilkada serentak dibuat untuk mengurangi pengeluaran APBD yang sebelumnya memberikan dampak negatif bagi daerah-daerah yang kemampuan fiskalnya rendah dan membuat masyarakat kurang mendapatkan fasilitas dari daerah seperti fasilitas pendidikan dan kesehatan. Maka dengan adanya kebijakan Pilkada serentak yang menggunakan dana APBN ini diharapkan dapat berjalan dengan lancar dan keuangan daerah tidak semakin membengkak.



DAFTAR PUSTAKA
Ni’mah, Zulfatun, 2012, Sosiologi Hukum. Sebagai Pengantar. Yogyakarta: Teras






Nama Anggota Kelompok :
  1. Wike Lusiana
  2. Yofilatun N
  3. Yolanda Agnes
  4. Yoshida Lola
  5. Zepri P
  6. Zulfa Zumrotun
  7. Zulfatun Ulaini
  8. Mita Husnurrosyidah 


5 komentar:

  1. susunan penulisan mulai dari Studi Kasus, Penjabaran Paradigma Hukum dan proses Analisis yang anda suguhkan, memudahkan pembaca untuk mengikuti dan masuk dalam fikiran anda dalam tulisan ini,... referensi yang anda tunjukkan juga memperkuat isi dari artikel ini... ^_^

    BalasHapus
  2. Saya setuju dengan analisis anda. Akan tetapi, mengingat banyaknya kasus-kasus yg terjadi, dan jika dihubungkan dengan pasal-pasal yang terdapat dalam UU Pilkada apakah ada ketentuan-ketentuan dari pasal yang dianggap tidak relevan dan diusulkan dapat diubah?

    BalasHapus
    Balasan
    1. mengenai pasal yang tidak relevan saya rasa tidak ada, tetapi saya lebih ingin mengusulkan untuk menambahkan pasal baru perihal solusi dari adanya calon tunggal dengan menggunakan pemilihan dengan mekanisme referendum. itu saja, terimakasih

      Hapus