STUDI KASUS TERHADAP DISAHKANNYA
UNDANG-UNDANG PEMILIHAN KEPALA DAERAH
Oleh: Zulfa Zumrotun Nisa’ (1711143093)
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada atau
Pemilukada) dilakukan secara langsung oleh masyarakat setempat yang telah
memenuhi syarat sesuai dengan UU No 8 Tahun 2015. Pemilihan Kepala Daerah tersebut sudah mencakup dengan wakil kepala
daerah. Kepala daerah dan wakil kepala daerah tersebut meliputi:
-
Gubernur
dan wakil gubernur di tingkat provinsi
-
Walikota
dan wakil walikota di tingkat kotamadya
-
Bupati
dan wakil bupati di tingkat kabupaten
Sebelum
munculnya UU No 32 Tahun 2004 pemilihan kepala daerah masih dilaksanakan secara
tidak langsung oleh DPRD setempat. Namun karena hal tersebut menuai banyak
kontroversi dalam masyarakat di mana pemerintahan sentralistik pada masa orde
baru yang melahirkan birokrat yang korup di daerah dan mengakibatkan masyarakat
di daerah tidak dapat merasakan pembangunan yang merata dan walaupun kekayaan
alam di daerahnya sangat kaya tapi lebih banyak dikorupsi oleh pejabat dan DPRD
di daerah mereka akibat pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Terbukti, banyak
kasus korupsi yang melibatkan anggota DPRD karena melakukan pemerasan kepada
kepala daerah yang mereka pilih atau karena transaksi suap untuk melancarkan
kebijakan dan program di daerah karena harus melalui persetujuan oleh DPRD. Oleh
karena itu maka dibentuklah UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang
mengatur tentang pemilihan Kepala daerah secara langsung oleh rakyat yang mulai
dipraktekkan dalam Pemilihan Kepala Daerah di tahun 2005. Tertuang dalam pasal
24 UU No 32 Tahun 2014 yang berbunyi “Kepala daerah dan wakil kepala daerah
dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang
bersangkutan.”
KASUS I
Di tahun
2014 silam pasca Pilpres DPR-RI kembali mengangkat isu krusial terkait
pemilihan kepala daerah secara langsung dengan mengajukan RUU (Rancangan Undang-undang) tentang Pemilihan Kepala Daerah. Dalam RUU Pilkada
tersebut mengatur mengenai sistem pemilihan kepalah daerah dimana kepala daerah
tidak lagi dipilih secara langsung oleh masyarakat, melainkan akan ditentukan
melalui voting kursi DPRD.
Pengajuan RUU ini jelas mendapat kontroversi dari
masyarakat. Telah jelas disebutkan dalam pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 yang mengharuskan gubernur, bupati, dan walikota
dipilih secara demokratis. Setelah
mengalami banyak pertimbangan, dalam
sidang paripurna keputusan yang awalnya pilkada dipilih oleh DPRD yang tertuang
dalam UU No 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota tersebut
dicabut, dan disahkan undang-undang baru yaitu UU No 8 Tahun
2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015
Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang di mana pemilihan
kepala daerah tetap dipilih oleh masyarakat langsung. Hal ini tertuang dalam
Pasal 1 ayat 1 yang berbunyi “Pemilihan Gubernur dan Wakil
Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang
selanjutnya disebut Pemilihan adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah
provinsi dan kabupaten/kota untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati
dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota secara langsung dan
demokratis.“
KASUS II
Tiga daerah yang sempat
dikabarkan tidak akan mengikuti pilkada serentak desember 2015 mendatang kini
bisa bernafas lega karena akhirnya mendapatkan kejelasan dari MK, tiga daerah
tersebut adalah Blitar, Tasikmalaya, dan Timor Tengah Utara. Dalam putusan MK
disebutkan pemilihan pasangan calon tunggal dapat dilakukan apabila telah
melampaui kegiatan sebagaimana dimaksud pada ketentuan pada UU No 8 Tahun 2015
pasal 49 dan pasal 50.
Pasal 49 ayat 8 yang berbunyi
“Dalam hal hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (7) menghasilkan
pasangan calon yang memenuhi persyaratan kurang dari 2 (dua) pasangan calon,
tahapan pelaksanaan Pemilihan ditunda paling lama 10 (sepuluh) hari. “ dan
pada ayat 9 yang berbunyi “KPU Provinsi membuka kembali pendaftaran pasangan
Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur paling lama 3 (tiga) hari setelah
penundaan tahapan sebagaimana dimaksud pada ayat (8). “
Pasal 50 ayat 8 “Dalam hal
hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (7) menghasilkan pasangan calon
yang memenuhi persyaratan kurang dari 2 (dua) pasangan calon, tahapan
pelaksanaan pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta pasangan Calon
Walikota dan Calon Wakil Walikota pemilihan ditunda paling lama 10 (sepuluh)
hari.” Dan ayat 9 yang berbunyi “KPU Kabupaten/Kota membuka kembali
pendaftaran pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta pasangan Calon
Walikota dan Calon Wakil Walikota paling lama 3 (tiga) hari setelah penundaan
tahapan sebagaimana dimaksud pada ayat (8).”
Ketentuan tersebut dianggap sudah sesuai dengan
fakta hukum penyelenggaraan pilkada di tiga daerah yang hanya memiliki pasangan
calon tunggal. Dalam rapat koordinasi yang
telah digelar MK, daerah yang memiliki calon tunggal akan melaksanakan Pilkada
dengan mekanisme referendum guna menjamin hak konstitusional rakyat agar tetap
dapat memilih dan dipilih. Mekanisme referendum
tersebut dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada rakyat untuk menyatakan
setuju atau tidak setuju dalam surat suara yang didesain sedemikian rupa
sehingga memungkinkan rakyat atau pemilih menentukan pilihan. Apabila
pilihan setuju memperoleh suara terbanyak maka pasangan calon ditetapkan
sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih. Namun jika tidak setuju
memperoleh suara terbanyak, maka pemilihan ditunda sampai pilkada berikutnya.
KASUS III
Dengan munculnya undang-undang no 8 tahun 2015
pada pasal 3 yang berbunyi “Pemilihan dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun
sekali secara serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia”,
pada Desember 2015 mendatang akan dilaksanakan pilkada serentak di seluruh
Indonesia. Dikarenakan penyelenggaraan pemilihan
kepala daerah yang begitu banyak di Indonesia dinilai sangat memboroskan
anggaran daerah. Banyaknya biaya yang dipakai memunculkan kemungkinan korupsi
dari pihak-pihak yang kurang bertanggung jawab. Selain itu bagi daerah yang kemampuan fiskalnya rendah, kewajiban
membiayai pilkada ternyata mengurangi belanja pelayanan publik seperti urusan
pendidikan dan kesehatan. Karena itu, penyelenggaraan pilkada serentak
dipandang lebih tepat karena lebih hemat dan efisien.
Perlu diketahui bahwa biaya pilkada yang
sebelumnya ditanggung oleh APBD sedangkan biaya pilkada serentak menggunakan
APBN. Biaya pilkada
untuk kabupaten/kota Rp 25 miliar, untuk pilkada provinsi Rp 100 miliar. Jadi
untuk keseluruhan pilkada di Indonesia diperlukan Rp 17 triliun. Kalau
dilaksanakan secara serentak diperlukan Rp 10 triliun. Maka diadakannya pemilu
serentak menjadi alternatif solusi untuk menciptakan efisiensi biaya.
Teori Paradigma Perubahan Sosial
Sebagai Respon Dari Disahkannya Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah
Hukum perubahan sosial dan
perubahan hukum merupakan hubungan timbal balik atau interaksi yang terjadi
antara perubahan sosial terhadap perubahan hukum, dan perubahan hukum terhadap
perubahan sosial yang apabila keduanya berinteraksi satu sama lain akan
menimbulkan suatu dampak tertentu. Untuk menganalisis dampak yang
ditimbulkannya sekurang-kurangnya terdapat dua cara pandang atau paradigma
ilmiah yaitu:
1. Hukum sebagai pelayan
kebutuhan masyarakat.
2.
Hukum dapat menciptakan perubahan dalam masyarakat
Paradigma pertama: hukum
sebagai pelayan kebutuhan masyarakat atau bisa disebut paradigma hukum
penyesuaian kebutuhan, agar hukum tidak tertinggal dengan laju perubahan yang
ada di masyarakat. Maksudnya di sini adalah hukum akan bergerak cepat untuk
menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi. Kebutuhan akan peraturan
perundang-undangan yang baru nampak jelas dapam paradigma ini. Ciri-ciri dari
paradigma hukum sebagai pelayan masyarakat adalah:
a.
Perubahan hukum atau perubahan sosial cenderung diikuti
oleh sistem lain karena dalam kondisi saling ketergantungan.
b.
Hukum selalu menyesuaikan diri dengan perubahan sosial.
c.
Hukum sebagai alat mengabdi pada perubahan sosial.
Paradigma kedua: hukum dapat
menciptakan perubahan dalam masyarakat atau setidaknya bisa menjadi pemicu
perubahan masyarakat. Menurut paradigma ini hukum diciptakan untuk
mengantisipasi persoalan hukum yang dimungkinkan muncul atau untuk
mengantisipasi munculnya masalah yang sama dari waktu ke waktu. Oleh karena itu
paradigma ini juga disebut paradigma antisipasi masyarakat. Ciri-ciri dari
paradigma antisipasi masyarakat adalah:
a.
Hukum merupakan alat untuk merekayasa sosial.
b.
Hukum merupakan alat merubah sosial secara langsung.
c.
Hukum berorientasi masa depan.
ANALISIS KASUS
KASUS I
Pada kasus pertama yaitu
tentang pemilihan langsung termasuk pada paradigma pertama yaitu hukum sebagai
pelayan kebutuhan masyarakat. Alasannya dalam kasus tersebut hukum ditegakkan
untuk melindungi hak memilih masyarakat. Di mana yang pada awal tahu 2004 diberlakukan UU No 32 Tahun 2004 yang
mengatur pemilihan kepala daerah dipilih langsung oleh masyarakat. Dan di tahun
2014 ketika DPRD mengajukan RUU perihal pemilihan tak langsung dan RUU tersebut
sempat diresmikan menjadi UU no 22 Tahun 2014, UU tersebut segera diganti
dengan Perpu No 1 Tahun 2014 yang menghapus pemilihan tak langsung. Dan di
tahun 2015 ini telah dibuat UU No 8 Tahun 2015 sebagai Undang-undang Pemilihan
Kepala Daerah Baru.
KASUS II
Pada kasus kedua tentang
calon tunggal dalam pilkada serentak yang akan dilaksanakan Desember 2015
mendatang termasuk pada paradigma pertama yaitu hukum sebagai pelayan
masyarakat. Alasannya hukum tersebut menyesuaikan diri dengan kondisi
masyarakat, di mana hukum melindungi hak memilih masyarakat. Maka Mahkamah
Konstitusi memberikan solusi alternatif yaitu menggunakan mekanisme referendum
bagi daerah-daerah yang memiliki calon tunggal. Mekanisme referendum tersebut dilakukan
dengan memberikan kesempatan pada masyarakat untuk menyuarakan suara “setuju”
dengan calon tunggal tersebut ataukah “tidak setuju”.
KASUS III
Pada kasus ketiga tentang
penerapan Pilkada serentak yang akan dilaksanakan Desember 2015 mendatang
termasuk pada paradigma kedua hukum sebagai antisipasi masyarakat. Dalam hal
ini peraturan tentang Pilkada serentak dibuat untuk mengurangi pengeluaran APBD
yang sebelumnya memberikan dampak negatif bagi daerah-daerah yang kemampuan
fiskalnya rendah dan membuat masyarakat kurang mendapatkan fasilitas dari
daerah seperti fasilitas pendidikan dan kesehatan. Maka dengan adanya kebijakan
Pilkada serentak yang menggunakan dana APBN ini diharapkan dapat berjalan
dengan lancar dan keuangan daerah tidak semakin membengkak.
DAFTAR PUSTAKA
Ni’mah, Zulfatun, 2012, Sosiologi
Hukum. Sebagai Pengantar. Yogyakarta: Teras
Nama Anggota Kelompok :
- Wike Lusiana
- Yofilatun N
- Yolanda Agnes
- Yoshida Lola
- Zepri P
- Zulfa Zumrotun
- Zulfatun Ulaini
- Mita Husnurrosyidah