Selasa, 15 September 2015

ARTIKEL - SOSIOLOGI HUKUM

SOLIDARITAS DAN HUKUM

Teori Solidaritas adalah sebuah rumusan teori yang dikemukakan oleh Emile Durkheim sebagai seorang pemerhati masyarakat. Durkhem merumuskan bahwa hukum sebagai suatu kaidah yang bersanksi dimana berat dan ringannya senantiasa bergantung dari sifat pelanggaran, anggapan-anggapan serta keyakinan masyarakat tentang baik buruknya suatu tindakan dan peranan sanksi-sanksi tersebut dalam masyarakat.[1]

Menurut Emile Durkhem terkait dengan hukum, ada dua jenis Solidaritas, yakni solidaritas organis dan solidaritas mekanis. Masing-masing memiliki ciri-ciri yang berbeda.
A.    Tipe solidaritas Mekanis
Memiliki ciri:
·         Pembagian kerja rendah/homogen
·         Kesadaran kolektif kuat
·         Hukum represif sangat dominan
·         Individualitas rendah
·         Konsensus terhadap pola normative
·         Komunitas terlibat dalam menghukum seorang yang melakukan penyimpangan
·         Saling ketergantungan tinggi
·         Bersifat primitif dan pedesaan
B.     Tipe solidaritas Organis
Memiliki ciri:
·         Pembagian kerja tinggi/heterogen
·         Kesadaran kolektif rendah
·         Hukum restif dominan
·         Individualis tinggi
·         Konsensus terhadap nilai abstrak
·         Badan-badan kontrol sosial yang melakukan penghukuman
·         Saling ketergantungan rendah
·         Bersifat industri dan perkotaan[2]



STUDY KASUS
Masyarakat di desa Panggungsari kecamatan Durenan kabupaten Trenggalek tergolong masyarakat homogen dengan prosentase pekerjaan 75% seorang petani 25% lain-lain. Penulis telah melakukan observasi dari 20 kepala keluarga di sekitar dengan hasil 15 kepala keluarga dengan pekerjaan pokok sebagai petani, 2 kepala keluarga sebagai PNS, 2 kepala keluarga membuka toko kecil, dan 1 kepala keluarga bekerja serabutan. Di lingkungan desa ini terlihat jelas memiliki tingkat solidaritas yang masih sangat kuat.
Sebagai contoh adalah ketika adanya suatu acara pernikahan di desa tersebut. Warga desa terutama dari kalangan ibu pasti akan datang dan membantu di tempat terjadinya acara. Bahkan tanpa perlu diundang, mereka pasti akan membantu dalam persiapan pelaksanaan acara tersebut. Hal itu sudah menjadi suatu tradisi turun-temurun untuk saling membantu satu sama lain walau tanpa diminta. Kesadaran untuk saling membantu tersebut sudah tertanam kuat dalam diri setiap masyarakat untuk saling membantu dan bergotong royong dalam setiap kesulitan. Oleh sebab itu, menyebabkan tingkat ketergantungan tingkat solidaritas antar warga tinggi.
Apabila ada salah seorang warga yang mengabaikan setiap kegiatan yang melibatkan banyak orang seperti pada kasus ketika ada acara pernikahan, pasti nantinya ia akan dipertanyakan mengenai alasan ketidakhadiran itu. Kebiasaan egois seperti itu sangat buruk untuk kelangsungan hidupnya tinggal di desa tersebut. Karena nantinya ia bisa mendapat gunjingan ‘miring’ sebagai warga yang tak mau bersosialisasi dengan warga yang lain.
Di lingkungan pedesaan seperti di desa Panggungsari, melakukan sosialisasi dengan warga sekitar seakan telah menjadi suatu syarat untuk tinggal di lingkungan tersebut. Hal ini sesuai dengan salah satu teori Emile Durkhem mengenai solidaritas mekanis, dimana dalam lingkup pedesaan yang tergolong masyarakat homogen memiliki hukum represif lebih dominan, apabila ada yang melanggar maka akan dikenai suatu sanksi entah itu kasap mata atau tidak kasap mata, seperti yang ada di contoh merupakan sanksi berupa ‘gunjingan’. Selain itu kesadaran kolektif masyarakat masih sangat kuat, memiliki sifat saling letergantungan yang tinggi antar warga, dan tingkat individualitas yang rendah.




[1] Zulfatun Ni’mah, “Sosiologi Hukum, Sebagai Pengantar”, Teras, Depok 2012, hlm:35
[2] Ibid, hlm:38-39

1 komentar: