Rabu, 23 Desember 2015

HUKUM YANG SUBSTANTIF = KEADILAN BAGI MASYARAKAT

Hukum Modern, Ciptakanlah Keadilan Bagi Waria
Oleh: Zulfa Zumrotun Nisa’ (1711143093)

Negara modern adalah suatu istilah yang menunjuk pada instirusi yang memiliki arsitektur rasional melalui pembentukan struktur penataan yang rasional. Negara modern ini muncul pada abad ke 18 dengan menerapkan hukum modern yang sesuai dengan sebutan Negara modern. Hukum modern memiliki karakteristik yang sangat berbeda dengan hukum tradisional yang digantikannya. Menurut Marc Galanter ada beberapa ciri dari aturan hukum modern antara lain:
  1.  Hukum modern terdiri atas peraturan-peraturan yang seragam dan tidak bervariasi dalam penerapannya. Aturan ini bersifat territorial daripada “individual”
  2.  Hukum modern bersifat transaksional. Hak-hak dan kewajiban lebih merupakan hasil transaksi antara para pihak, bukan sekelompok pihak yang tidak berubah dan memiliki ketergantungan dengan para individu atau pihak luar melalui transaksi tertentu.
  3. Norma-norma hukum modern bersifat universal.
  4. Sistemnya adalah hirarkis.
  5. Sistem diatur secara birokrasi.
  6. Sistem yang rasional.
  7. Sistem dijalankan oleh para profesional.
  8. Sistem menjadi lebih teknis dan kompleks.
  9. Sistem yang dapat diubah.
  10. Hukum berhubungan dengan negara sehingga negara memonpoli penyelesaian seluruh sengketa.
  11.  Kegiatan menemukan hukum dan menerapkannya pada kasus yang konkrit dibedakan secara personal dan teknis pada fungsi pemerintahan.
Dari ke sebelas ciri di atas, kelompok masyarakat yang paling berkepentingan dengan lahirnya hukum modern adalah kaum borjuis. Dalam sistem lama yang feodalis, kaum borjuis tidak mendapat tempat yang cukup karena struktur masyarakat didominasi kelompok ningrat yang dekat dengan kekuasaan raja dan gereja. Marc Galanter menekankan bahwa model hukum modern selalu menekankan pada kesatuan atau unifikasi (unity), keseragaman atau kodifikasi (uniformity) dan universal (universality). Dengan begitu, hukum dibuat umum, abstrak dan formal. Sejak saat itu dikenallah asas equality before law yaitu asas kesamaan di muka hukum.
Perkembangan hukum modern mendatangkan ketidakpuasan bagi sebagian masyarakat. Asas kesamaan di muka hukum digugat karena telah menyebabkan hukum dan penegak hukum tidak mempertimbangkan konteks sosial suatu peristiwa hukum. Akibatnya orang-orang lemah dan terlemahkan cenderung mengalami kekalahan. Sebagai antithesis dari paham modernisme, muncullah paham baru yang menamakan dirinya postmodernisme. Postmodern merupakan penolakan yang radikal terhadap pemikiran modern yang mengandaikan universalitas. Inti dari postmodernisme adalah menolak usaha untuk menyusun cara pandang yang tunggal. Postmodernisme dalam hukum dikenal dengan nama critical legal studies atau aliran hukum kritis dengan berbagai derivasinya seperti feminist legal studies, critical race theories, radical criminology dan lain-lain. Aliran hukum kritis merupakan lanjutan dari ajaran hukum pada awal abad 20 di mana hukum dipandang sebagai instrumen yang dapat membawa masyarakat pada keadaan tertib dan cenderung bercorak pragmatis. Hukum yang dipersepsikan sebagai alat mencapai ketertiban sosial ini pada praktiknya tekah gagal mencapai tujuannya, dikarenakan gagal menemukan metode yang tepat untuk mencapai tujuan itu.
Pola pikir postmodernisme tersebut di atas berpengaruh pada semakin kaburnya bentuk-bentuk tradisional tentang identifikasi tertentu yang semula dipertahankan secara kaku oleh norma hukum. Identifikasi tersebut antara lain konsep tentan ras, jenis kelamin, kelas sosial, perkawinan dan lain-lain. Sebagian ahli hukum menemukan kesadaran pada akhir abad 20 bahwa keadilan sesungguhnya tidak pernah disentuh oleh hukum, sebagian lagi berpendapat bahwa keadilan itu tidak pernah ada. Menurut Munir Fuady aliran hukum kritis secara radikal mendobrak hukum yang sudah ada sebelumnya, menggugat klaim kenetralan dan keobjektifan hukum, hakim dan penegak hukum lainnya. Gugatan klaim kenetralan terutama ditujukan kepada realitas keterpihakan mereka pada golongan atas, kuat, mayoritas atau kaya dalam rangka mempertehankan hegemoninya atau keberpihakan hukum terhadap politik dan ideologi tertentu.
Di Indonesia keberadaan asas kesamaan di muka hukum tercermin pada Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 pasal 27 ayat 1 yang berbunyi “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” dan ayat 2 yang berbunyi “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”. Namun dalam realitasnya masih banyak orang-orang yang tersisihkan dan termarjinalkan dari hukum, seperti contohnya waria. Waria adalah seorang laki-laki namun memiliki kecenderungan sifat, psikis dan mental sebagai perempuan sehingga membuat orang yang bersangkutan ingin merubah bentuk tubuhnya agar mirip perempuan sebisa mungkin. Adanya hal yang dianggap tidak wajar ini, keberadaan waria jarang disukai oleh masyarakat karena dianggap telah menyalahi aturan alam di mana yang ada dan pasti jenis kelamin hanya ada laki-laki dan perempuan.
Pada hari Senin tanggal 22 Desember 2015 lalu, saya (Zulfa Zumrotun) dan teman-teman (Rohmatul Umah, Wike Lusiana, Zulfatun Ulaini, Yolanda Agnes dan M. Stipan) sempat berbincang-bincang sejenak dengan seorang waria yang tinggal di kota Kediri untuk berbagi pengalamannya selama menjadi waria. Nama waria tersebut adalah Nadia Sinar Ayu (nama yang dibuat sendiri oleh narasumber) lahir di Kediri tahun 1996 silam. Nadia lahir di lingkungan keluarga yang kurang mampu. Kecenderungan psikis perempuannya memang sudah ada sejak ia masih kecil, sehingga kebiasaan-kebiasaan yang biasanya dilakukan oleh perempuan sudah dijalaninya sejak masih kecil pula dan itu terus berlangsung hingga sekarang. Fisiknya telah berubah lebih mirip perempuan. Demi tubuh perempuannya itu Nadia rela menghabiskan uang satu juta per bulan.
Perbedaan perilaku dengan fisiknya ini jelas menerima respon yang kurang baik oleh masyarakat. Seperti ketika Nadia masih di bangku sekolah, ia tetap mengenakan seragam laki-laki namun ia juga tetap memiliki kebiasaan untuk berpenampilan seperti perempuan. Sempat Nadia menanyakan kepada gurunya untuk mengenakan rok, namun ditolak. Beberapa kali Nadia mendapatkan kecaman dari guru karena kebiasaannya itu. Ketidaksukaan guru kepadanya membuatnya merasa sangat berat untuk menjalani masa sekolah. Ketika di bangku sekolah menengah atas Nadia pernah mengajukan beasiswa untuk sekolahnya, namun juga ditolak karena dianggap sebagai orang yang tidak pantas untuk mendapatkan beasiswa. Hingga akhirnya Nadia keluar sekolah karena tidak mampu menanggung biaya untuk sekolah. Keluarnya Nadia dari sekolah mendapat respon guru, sebagian ada yang tidak setuju Nadia keluar karena ia berbakat di bidang seni dan sebagian lagi memilih lebih baik Nadia keluar sekolah karena membuat citra sekolah menjadi buruk.
Setelah putus sekolah Nadia mencoba bekerja di sebuah kedai. Kedai tersebut buka selama 24 jam dan gaji yang diterima Nadia Rp. 25.000,00 per hari. Namun pada kenyataannya, pemilik kedai berbuat semaunya dengan memberi gaji hanya Rp. 50.000,00 atau Rp. 100.000,00 per bulannya. Jatah makanpun mengurangi gaji yang seharusnya diterima oleh Nadia. Perlakuan dari pemilik kedai ini jelas sangat tidak berperikemanusiaan. Menahan gaji yang seharusnya diterima oleh Nadia dan selalu memberi potongan gaji terhadap apa yang seharusnya Nadia terima sebagai karyawan. Hingga akhirnya empat bulan kemudian, Nadia berhenti bekerja di kedai tersebut.
Setelah bekerja di kedai tersebut, Nadia mencoba bekerja di tempat lain beberapa kali dan sekarang ia sedang berusaha mendirikan salon sendiri sambil menerima tawaran untuk menyanyi di acara-acara tertentu di kota sebagai penyanyi waria. Hal tersebut lebih mudah dijalani oleh Nadia karena ia tidak memerlukan tanda pengenal untuk melakukan pekerjaan tersebut, selain itu Nadia memiliki bakat lebih di bidang tata rias dan seni. Sejak awal Nadia sudah menyadari keadaannya, sehingga ia tidak berharap lebih untuk menjadi orang besar.
Dalam bidang tarik suara Nadia memiliki kualitas yang bagus, namun statusnya sebagai penyanyi waria sering mendapat respon yang kurang menyenangkan. Beberapa kali Nadia mengalami pembatalan konser secara tiba-tiba karena dari pihak yang mengadakan acara mengetahui bahwa Nadia adalah seorang waria. Perlakuan tersebut seakan Nadia tidak dihargai karena ia adalah seorang waria.
Dari situ dapat diketahui bahwa Nadia sebagai waria mengalami penyisihan atau pengucilan oleh masyarakat sebagai sesama manusia dan warga negara karena ia dianggap berbeda dalam hal yang tidak baik. Nadia sendiri tidak menginginkan menjadi waria. Menjadi waria bukanlah keinginannya, bukan cita-citanya, tapi itulah yang telah diberikan Tuhan kepadanya. Hingga saat ini pandangan masyarakat yang negatif terhadap kaum waria masih menempel sangat lekat. Nadia memang waria, namun sebisa mungkin ia mencari penghasilan dengan cara yang baik. Status waria yang tidak diakui oleh pemerintah jelas memberikan kesulitan bagi kaum waria untuk memperoleh suatu keadilan. Dengan ini diharapkan Indonesia memberikan suatu afirmative action sebagai tindakan untuk menciptakan keadilan-keadilan yang substantif atau keadilan yang senyatanya kepada kaum waria dan kaum lain yang masih tersisihkan oleh hukum. Hukum yang adil bukan hanya berdasarkan Undang-undang namun juga berdasarkan realitas yang ada.
Harapan Nadia sebagai kaum waria adalah ia ingin dapat mengganti namanya secara legal, dapat menikah dengan cara yang legal, membahagiakan kedua orang tuanya, sukses menjalankan salonnya, dan sesegera mungkin ia ingin mengadopsi anak untuk diasuhnya.

DAFTAR PUSTAKA
Ni’mah, Zulfatun, 2012, Sosiologi Hukum. Sebagai Pengantar. Yogyakarta: Teras
UNDANG-UNDANG DASAR 1945

Minggu, 08 November 2015

ANALISIS UNDANG-UNDANG PILKADA




STUDI KASUS TERHADAP DISAHKANNYA
UNDANG-UNDANG PEMILIHAN KEPALA DAERAH
Oleh: Zulfa Zumrotun Nisa’ (1711143093)
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada atau Pemilukada) dilakukan secara langsung oleh masyarakat setempat yang telah memenuhi syarat sesuai dengan UU No 8 Tahun 2015. Pemilihan Kepala Daerah tersebut sudah mencakup dengan wakil kepala daerah. Kepala daerah dan wakil kepala daerah tersebut meliputi:
-          Gubernur dan wakil gubernur di tingkat provinsi
-          Walikota dan wakil walikota di tingkat kotamadya
-          Bupati dan wakil bupati di tingkat kabupaten
Sebelum munculnya UU No 32 Tahun 2004 pemilihan kepala daerah masih dilaksanakan secara tidak langsung oleh DPRD setempat. Namun karena hal tersebut menuai banyak kontroversi dalam masyarakat di mana pemerintahan sentralistik pada masa orde baru yang melahirkan birokrat yang korup di daerah dan mengakibatkan masyarakat di daerah tidak dapat merasakan pembangunan yang merata dan walaupun kekayaan alam di daerahnya sangat kaya tapi lebih banyak dikorupsi oleh pejabat dan DPRD di daerah mereka akibat pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Terbukti, banyak kasus korupsi yang melibatkan anggota DPRD karena melakukan pemerasan kepada kepala daerah yang mereka pilih atau karena transaksi suap untuk melancarkan kebijakan dan program di daerah karena harus melalui persetujuan oleh DPRD. Oleh karena itu maka dibentuklah UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang mengatur tentang pemilihan Kepala daerah secara langsung oleh rakyat yang mulai dipraktekkan dalam Pemilihan Kepala Daerah di tahun 2005. Tertuang dalam pasal 24 UU No 32 Tahun 2014 yang berbunyi “Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan.”

KASUS I
Di tahun 2014 silam pasca Pilpres DPR-RI kembali mengangkat isu krusial terkait pemilihan kepala daerah secara langsung dengan mengajukan RUU (Rancangan Undang-undang) tentang Pemilihan Kepala Daerah. Dalam RUU Pilkada tersebut mengatur mengenai sistem pemilihan kepalah daerah dimana kepala daerah tidak lagi dipilih secara langsung oleh masyarakat, melainkan akan ditentukan melalui voting kursi DPRD. 
Pengajuan RUU ini jelas mendapat kontroversi dari masyarakat. Telah jelas disebutkan dalam pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 yang mengharuskan gubernur, bupati, dan walikota dipilih secara demokratis. Setelah mengalami banyak pertimbangan, dalam sidang paripurna keputusan yang awalnya pilkada dipilih oleh DPRD yang tertuang dalam UU No 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota tersebut dicabut, dan disahkan undang-undang baru yaitu UU No 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang  di mana pemilihan kepala daerah tetap dipilih oleh masyarakat langsung. Hal ini tertuang dalam Pasal 1 ayat 1 yang berbunyi “Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang selanjutnya disebut Pemilihan adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan kabupaten/kota untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota secara langsung dan demokratis.“

KASUS II
Tiga daerah yang sempat dikabarkan tidak akan mengikuti pilkada serentak desember 2015 mendatang kini bisa bernafas lega karena akhirnya mendapatkan kejelasan dari MK, tiga daerah tersebut adalah Blitar, Tasikmalaya, dan Timor Tengah Utara. Dalam putusan MK disebutkan pemilihan pasangan calon tunggal dapat dilakukan apabila telah melampaui kegiatan sebagaimana dimaksud pada ketentuan pada UU No 8 Tahun 2015 pasal 49 dan pasal 50.
Pasal 49 ayat 8 yang berbunyi “Dalam hal hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (7) menghasilkan pasangan calon yang memenuhi persyaratan kurang dari 2 (dua) pasangan calon, tahapan pelaksanaan Pemilihan ditunda paling lama 10 (sepuluh) hari. “ dan pada ayat 9 yang berbunyi “KPU Provinsi membuka kembali pendaftaran pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur paling lama 3 (tiga) hari setelah penundaan tahapan sebagaimana dimaksud pada ayat (8). “
Pasal 50 ayat 8 “Dalam hal hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (7) menghasilkan pasangan calon yang memenuhi persyaratan kurang dari 2 (dua) pasangan calon, tahapan pelaksanaan pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota pemilihan ditunda paling lama 10 (sepuluh) hari.” Dan ayat 9 yang berbunyi “KPU Kabupaten/Kota membuka kembali pendaftaran pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota paling lama 3 (tiga) hari setelah penundaan tahapan sebagaimana dimaksud pada ayat (8).”
Ketentuan tersebut dianggap sudah sesuai dengan fakta hukum penyelenggaraan pilkada di tiga daerah yang hanya memiliki pasangan calon tunggal. Dalam rapat koordinasi yang telah digelar MK, daerah yang memiliki calon tunggal akan melaksanakan Pilkada dengan mekanisme referendum guna menjamin hak konstitusional rakyat agar tetap dapat memilih dan dipilih. Mekanisme referendum tersebut dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada rakyat untuk menyatakan setuju atau tidak setuju dalam surat suara yang didesain sedemikian rupa sehingga memungkinkan rakyat atau pemilih menentukan pilihan. Apabila pilihan setuju memperoleh suara terbanyak maka pasangan calon ditetapkan sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih. Namun jika tidak setuju memperoleh suara terbanyak, maka pemilihan ditunda sampai pilkada berikutnya.

KASUS III
Dengan munculnya undang-undang no 8 tahun 2015 pada pasal 3 yang berbunyi “Pemilihan dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali secara serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia”, pada Desember 2015 mendatang akan dilaksanakan pilkada serentak di seluruh Indonesia. Dikarenakan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah yang begitu banyak di Indonesia dinilai sangat memboroskan anggaran daerah. Banyaknya biaya yang dipakai memunculkan kemungkinan korupsi dari pihak-pihak yang kurang bertanggung jawab. Selain itu bagi daerah yang kemampuan fiskalnya rendah, kewajiban membiayai pilkada ternyata mengurangi belanja pelayanan publik seperti urusan pendidikan dan kesehatan. Karena itu, penyelenggaraan pilkada serentak dipandang lebih tepat karena lebih hemat dan efisien.
Perlu diketahui bahwa biaya pilkada yang sebelumnya ditanggung oleh APBD sedangkan biaya pilkada serentak menggunakan APBN.   Biaya pilkada untuk kabupaten/kota Rp 25 miliar, untuk pilkada provinsi Rp 100 miliar. Jadi untuk keseluruhan pilkada di Indonesia diperlukan Rp 17 triliun. Kalau dilaksanakan secara serentak diperlukan Rp 10 triliun. Maka diadakannya pemilu serentak menjadi alternatif solusi untuk menciptakan efisiensi biaya.



Teori Paradigma Perubahan Sosial Sebagai Respon Dari Disahkannya Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah
Hukum perubahan sosial dan perubahan hukum merupakan hubungan timbal balik atau interaksi yang terjadi antara perubahan sosial terhadap perubahan hukum, dan perubahan hukum terhadap perubahan sosial yang apabila keduanya berinteraksi satu sama lain akan menimbulkan suatu dampak tertentu. Untuk menganalisis dampak yang ditimbulkannya sekurang-kurangnya terdapat dua cara pandang atau paradigma ilmiah yaitu:
1.      Hukum sebagai pelayan kebutuhan masyarakat.
2.      Hukum dapat menciptakan perubahan dalam masyarakat
Paradigma pertama: hukum sebagai pelayan kebutuhan masyarakat atau bisa disebut paradigma hukum penyesuaian kebutuhan, agar hukum tidak tertinggal dengan laju perubahan yang ada di masyarakat. Maksudnya di sini adalah hukum akan bergerak cepat untuk menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi. Kebutuhan akan peraturan perundang-undangan yang baru nampak jelas dapam paradigma ini. Ciri-ciri dari paradigma hukum sebagai pelayan masyarakat adalah:
a.       Perubahan hukum atau perubahan sosial cenderung diikuti oleh sistem lain karena dalam kondisi saling ketergantungan.
b.      Hukum selalu menyesuaikan diri dengan perubahan sosial.
c.       Hukum sebagai alat mengabdi pada perubahan sosial.
Paradigma kedua: hukum dapat menciptakan perubahan dalam masyarakat atau setidaknya bisa menjadi pemicu perubahan masyarakat. Menurut paradigma ini hukum diciptakan untuk mengantisipasi persoalan hukum yang dimungkinkan muncul atau untuk mengantisipasi munculnya masalah yang sama dari waktu ke waktu. Oleh karena itu paradigma ini juga disebut paradigma antisipasi masyarakat. Ciri-ciri dari paradigma antisipasi masyarakat adalah:
a.       Hukum merupakan alat untuk merekayasa sosial.
b.      Hukum merupakan alat merubah sosial secara langsung.
c.       Hukum berorientasi masa depan.




ANALISIS KASUS
KASUS I
Pada kasus pertama yaitu tentang pemilihan langsung termasuk pada paradigma pertama yaitu hukum sebagai pelayan kebutuhan masyarakat. Alasannya dalam kasus tersebut hukum ditegakkan untuk melindungi hak memilih masyarakat. Di mana yang pada awal tahu  2004 diberlakukan UU No 32 Tahun 2004 yang mengatur pemilihan kepala daerah dipilih langsung oleh masyarakat. Dan di tahun 2014 ketika DPRD mengajukan RUU perihal pemilihan tak langsung dan RUU tersebut sempat diresmikan menjadi UU no 22 Tahun 2014, UU tersebut segera diganti dengan Perpu No 1 Tahun 2014 yang menghapus pemilihan tak langsung. Dan di tahun 2015 ini telah dibuat UU No 8 Tahun 2015 sebagai Undang-undang Pemilihan Kepala Daerah Baru.
KASUS II
Pada kasus kedua tentang calon tunggal dalam pilkada serentak yang akan dilaksanakan Desember 2015 mendatang termasuk pada paradigma pertama yaitu hukum sebagai pelayan masyarakat. Alasannya hukum tersebut menyesuaikan diri dengan kondisi masyarakat, di mana hukum melindungi hak memilih masyarakat. Maka Mahkamah Konstitusi memberikan solusi alternatif yaitu menggunakan mekanisme referendum bagi daerah-daerah yang memiliki calon tunggal. Mekanisme referendum tersebut dilakukan dengan memberikan kesempatan pada masyarakat untuk menyuarakan suara “setuju” dengan calon tunggal tersebut ataukah “tidak setuju”.
KASUS III
Pada kasus ketiga tentang penerapan Pilkada serentak yang akan dilaksanakan Desember 2015 mendatang termasuk pada paradigma kedua hukum sebagai antisipasi masyarakat. Dalam hal ini peraturan tentang Pilkada serentak dibuat untuk mengurangi pengeluaran APBD yang sebelumnya memberikan dampak negatif bagi daerah-daerah yang kemampuan fiskalnya rendah dan membuat masyarakat kurang mendapatkan fasilitas dari daerah seperti fasilitas pendidikan dan kesehatan. Maka dengan adanya kebijakan Pilkada serentak yang menggunakan dana APBN ini diharapkan dapat berjalan dengan lancar dan keuangan daerah tidak semakin membengkak.



DAFTAR PUSTAKA
Ni’mah, Zulfatun, 2012, Sosiologi Hukum. Sebagai Pengantar. Yogyakarta: Teras






Nama Anggota Kelompok :
  1. Wike Lusiana
  2. Yofilatun N
  3. Yolanda Agnes
  4. Yoshida Lola
  5. Zepri P
  6. Zulfa Zumrotun
  7. Zulfatun Ulaini
  8. Mita Husnurrosyidah