Hukum Modern, Ciptakanlah Keadilan Bagi Waria
Oleh: Zulfa Zumrotun Nisa’ (1711143093)
Negara modern adalah suatu istilah yang menunjuk pada instirusi
yang memiliki arsitektur rasional melalui pembentukan struktur penataan yang
rasional. Negara modern ini muncul pada abad ke 18 dengan menerapkan hukum
modern yang sesuai dengan sebutan Negara modern. Hukum modern memiliki
karakteristik yang sangat berbeda dengan hukum tradisional yang digantikannya.
Menurut Marc Galanter ada beberapa ciri dari aturan hukum modern antara lain:
- Hukum modern terdiri atas peraturan-peraturan yang seragam dan tidak bervariasi dalam penerapannya. Aturan ini bersifat territorial daripada “individual”
- Hukum modern bersifat transaksional. Hak-hak dan kewajiban lebih merupakan hasil transaksi antara para pihak, bukan sekelompok pihak yang tidak berubah dan memiliki ketergantungan dengan para individu atau pihak luar melalui transaksi tertentu.
- Norma-norma hukum modern bersifat universal.
- Sistemnya adalah hirarkis.
- Sistem diatur secara birokrasi.
- Sistem yang rasional.
- Sistem dijalankan oleh para profesional.
- Sistem menjadi lebih teknis dan kompleks.
- Sistem yang dapat diubah.
- Hukum berhubungan dengan negara sehingga negara memonpoli penyelesaian seluruh sengketa.
- Kegiatan menemukan hukum dan menerapkannya pada kasus yang konkrit dibedakan secara personal dan teknis pada fungsi pemerintahan.
Dari ke sebelas ciri di atas, kelompok
masyarakat yang paling berkepentingan dengan lahirnya hukum modern adalah kaum
borjuis. Dalam sistem lama yang feodalis, kaum borjuis tidak mendapat tempat
yang cukup karena struktur masyarakat didominasi kelompok ningrat yang dekat
dengan kekuasaan raja dan gereja. Marc Galanter menekankan bahwa model hukum
modern selalu menekankan pada kesatuan atau unifikasi (unity),
keseragaman atau kodifikasi (uniformity) dan universal (universality).
Dengan begitu, hukum dibuat umum, abstrak dan formal. Sejak saat itu dikenallah
asas equality before law yaitu asas kesamaan di muka hukum.
Perkembangan hukum modern mendatangkan
ketidakpuasan bagi sebagian masyarakat. Asas kesamaan di muka hukum digugat
karena telah menyebabkan hukum dan penegak hukum tidak mempertimbangkan konteks
sosial suatu peristiwa hukum. Akibatnya orang-orang lemah dan terlemahkan
cenderung mengalami kekalahan. Sebagai antithesis dari paham modernisme,
muncullah paham baru yang menamakan dirinya postmodernisme. Postmodern
merupakan penolakan yang radikal terhadap pemikiran modern yang
mengandaikan universalitas. Inti dari postmodernisme adalah menolak usaha
untuk menyusun cara pandang yang tunggal. Postmodernisme dalam hukum
dikenal dengan nama critical legal studies atau aliran hukum kritis
dengan berbagai derivasinya seperti feminist legal studies, critical race
theories, radical criminology dan lain-lain. Aliran hukum kritis merupakan
lanjutan dari ajaran hukum pada awal abad 20 di mana hukum dipandang sebagai
instrumen yang dapat membawa masyarakat pada keadaan tertib dan cenderung
bercorak pragmatis. Hukum yang dipersepsikan sebagai alat mencapai ketertiban
sosial ini pada praktiknya tekah gagal mencapai tujuannya, dikarenakan gagal
menemukan metode yang tepat untuk mencapai tujuan itu.
Pola pikir postmodernisme tersebut di
atas berpengaruh pada semakin kaburnya bentuk-bentuk tradisional tentang identifikasi
tertentu yang semula dipertahankan secara kaku oleh norma hukum. Identifikasi
tersebut antara lain konsep tentan ras, jenis kelamin, kelas sosial, perkawinan
dan lain-lain. Sebagian ahli hukum menemukan kesadaran pada akhir abad 20 bahwa
keadilan sesungguhnya tidak pernah disentuh oleh hukum, sebagian lagi
berpendapat bahwa keadilan itu tidak pernah ada. Menurut Munir Fuady aliran
hukum kritis secara radikal mendobrak hukum yang sudah ada sebelumnya,
menggugat klaim kenetralan dan keobjektifan hukum, hakim dan penegak hukum
lainnya. Gugatan klaim kenetralan terutama
ditujukan kepada realitas keterpihakan mereka pada golongan atas, kuat,
mayoritas atau kaya dalam rangka mempertehankan hegemoninya atau keberpihakan
hukum terhadap politik dan ideologi tertentu.
Di Indonesia keberadaan asas kesamaan di muka
hukum tercermin pada Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 pasal 27
ayat 1 yang berbunyi “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya.” dan ayat 2 yang berbunyi “Tiap-tiap warga negara
berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”. Namun
dalam realitasnya masih banyak orang-orang yang tersisihkan dan termarjinalkan
dari hukum, seperti contohnya waria. Waria adalah seorang laki-laki namun
memiliki kecenderungan sifat, psikis dan mental sebagai perempuan sehingga
membuat orang yang bersangkutan ingin merubah bentuk tubuhnya agar mirip
perempuan sebisa mungkin. Adanya hal yang dianggap tidak wajar ini, keberadaan
waria jarang disukai oleh masyarakat karena dianggap telah menyalahi aturan
alam di mana yang ada dan pasti jenis kelamin hanya ada laki-laki dan
perempuan.
Pada hari Senin tanggal 22 Desember 2015 lalu,
saya (Zulfa Zumrotun) dan teman-teman (Rohmatul Umah, Wike Lusiana, Zulfatun
Ulaini, Yolanda Agnes dan M. Stipan) sempat berbincang-bincang sejenak dengan
seorang waria yang tinggal di kota Kediri untuk berbagi pengalamannya selama
menjadi waria. Nama waria tersebut adalah Nadia Sinar Ayu (nama yang dibuat
sendiri oleh narasumber) lahir di Kediri tahun 1996 silam. Nadia lahir di
lingkungan keluarga yang kurang mampu. Kecenderungan psikis perempuannya memang
sudah ada sejak ia masih kecil, sehingga kebiasaan-kebiasaan yang biasanya
dilakukan oleh perempuan sudah dijalaninya sejak masih kecil pula dan itu terus
berlangsung hingga sekarang. Fisiknya telah berubah lebih mirip perempuan. Demi tubuh perempuannya itu Nadia rela menghabiskan uang satu juta
per bulan.
Perbedaan perilaku dengan fisiknya ini jelas
menerima respon yang kurang baik oleh masyarakat. Seperti ketika Nadia masih di
bangku sekolah, ia tetap mengenakan seragam laki-laki namun ia juga tetap
memiliki kebiasaan untuk berpenampilan seperti perempuan. Sempat Nadia menanyakan kepada gurunya untuk mengenakan rok, namun ditolak.
Beberapa kali Nadia mendapatkan kecaman dari guru karena kebiasaannya itu. Ketidaksukaan guru kepadanya membuatnya merasa sangat berat untuk
menjalani masa sekolah. Ketika di bangku sekolah menengah atas Nadia pernah mengajukan
beasiswa untuk sekolahnya, namun juga ditolak karena dianggap sebagai orang
yang tidak pantas untuk mendapatkan beasiswa. Hingga akhirnya Nadia keluar
sekolah karena tidak mampu menanggung biaya untuk sekolah. Keluarnya Nadia dari
sekolah mendapat respon guru, sebagian ada yang tidak setuju Nadia keluar
karena ia berbakat di bidang seni dan sebagian lagi memilih lebih baik Nadia
keluar sekolah karena membuat citra sekolah menjadi buruk.
Setelah putus sekolah Nadia mencoba bekerja di sebuah
kedai. Kedai tersebut buka selama 24 jam dan gaji
yang diterima Nadia Rp. 25.000,00 per hari. Namun pada kenyataannya, pemilik kedai berbuat
semaunya dengan memberi gaji hanya Rp. 50.000,00 atau Rp. 100.000,00 per
bulannya. Jatah makanpun mengurangi gaji yang seharusnya diterima oleh Nadia.
Perlakuan dari pemilik kedai ini jelas sangat tidak berperikemanusiaan. Menahan
gaji yang seharusnya diterima oleh Nadia dan selalu memberi potongan gaji terhadap
apa yang seharusnya Nadia terima sebagai
karyawan. Hingga
akhirnya empat bulan kemudian, Nadia berhenti bekerja di kedai tersebut.
Setelah bekerja di kedai tersebut, Nadia
mencoba bekerja di tempat lain beberapa kali dan sekarang ia sedang berusaha mendirikan
salon sendiri sambil menerima tawaran untuk menyanyi di acara-acara tertentu di
kota sebagai penyanyi waria. Hal tersebut lebih mudah dijalani oleh Nadia
karena ia tidak memerlukan tanda pengenal untuk melakukan pekerjaan tersebut,
selain itu Nadia memiliki bakat lebih di bidang tata rias dan seni. Sejak awal Nadia
sudah menyadari keadaannya, sehingga ia tidak berharap lebih untuk menjadi
orang besar.
Dalam bidang tarik suara Nadia memiliki kualitas yang bagus, namun statusnya
sebagai penyanyi waria sering mendapat respon yang kurang menyenangkan. Beberapa kali Nadia mengalami pembatalan konser secara
tiba-tiba karena dari pihak yang mengadakan acara mengetahui bahwa Nadia adalah
seorang waria. Perlakuan
tersebut seakan Nadia tidak dihargai karena ia adalah seorang waria.
Dari situ dapat diketahui bahwa Nadia sebagai
waria mengalami penyisihan atau pengucilan oleh masyarakat sebagai sesama
manusia dan warga negara karena ia dianggap berbeda dalam hal yang tidak baik. Nadia
sendiri tidak menginginkan menjadi waria. Menjadi waria bukanlah keinginannya,
bukan cita-citanya, tapi itulah yang telah diberikan Tuhan kepadanya. Hingga
saat ini pandangan masyarakat yang negatif terhadap kaum waria masih menempel
sangat lekat. Nadia memang waria, namun sebisa mungkin ia mencari penghasilan
dengan cara yang baik. Status waria yang tidak diakui oleh pemerintah jelas
memberikan kesulitan bagi kaum waria untuk memperoleh suatu keadilan. Dengan
ini diharapkan Indonesia memberikan suatu afirmative action sebagai
tindakan untuk menciptakan keadilan-keadilan yang substantif atau keadilan yang
senyatanya kepada kaum waria dan kaum lain yang masih tersisihkan oleh hukum. Hukum
yang adil bukan hanya berdasarkan Undang-undang namun juga berdasarkan realitas
yang ada.
Harapan Nadia sebagai kaum waria adalah ia
ingin dapat mengganti namanya secara legal, dapat menikah dengan cara yang
legal, membahagiakan kedua orang tuanya, sukses menjalankan salonnya, dan
sesegera mungkin ia ingin mengadopsi anak untuk diasuhnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ni’mah, Zulfatun, 2012, Sosiologi
Hukum. Sebagai Pengantar. Yogyakarta: Teras
UNDANG-UNDANG DASAR 1945